Salam

Selamat datang di blog "Kesejukan Hati". Semoga hati Anda bertambah sejuk setelah membaca.

Jumat, 16 Januari 2009

PEDAGOGIK TRANSFORMATIF DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

Pendidikan diharapkan melahirkan insan yang bukan hanya cerdas dan terampil, melainkan juga generasi yang tinggi tingkat apresiasinya terhadap sikap jujur, adil, demokratis, rendah hati, sederhana, dan kreatif. Lebih-lebih bangsa Indonesia yang sejak dulu dikenal sopan santun, ramah, berperadaban tinggi, dan suka bergotong royong. Adalah hal yang ironis jika dalam kenyataannya sekarang, nilai-nilai luhur warisan nenek moyang itu sedikit demi sedikit mulai pudar, bahkan luntur. Berbagai peristiwa kekerasan, kerusuhan, tindakan anarkis dan destruktif yang terjadi di negeri ini setidaknya membuktikan hal tersebut. Merajalelanya KKN, apatis, dan masa bodoh yang ditunjukkan oleh beberapa oknum petinggi negara juga sangat memprihatinkan.

Salah satu faktor yang ditengarai memicu lahirnya generasi semacam itu adalah model pendidikan yang lebih memacu kecerdasan otak dari pada emosi dan nilai kemanusiaan. Dalam belajar, siswa hanya menerima materi dan pengetahuan kognitif yang sangat jauh dari pengalaman dan kenyataan mereka sehari-hari. Hal ini berakibat hilangnya ruang untuk berkreasi, berprakarsa, dan mengembangkan jatidirinya. Padahal, pendidikan yang hakiki merujuk pada sebuah kondisi yang mampu memberikan ruang kesadaran kepada peserta didik untuk mengembangkan jatidirinya melalui sebuah proses yang menyenangkan, terbuka, tidak terbelenggu dalam suasana monoton, kaku, dan menegangkan.

Guru sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan memiliki tanggung jawab yang besar untuk mewujudkan hakikat pendidikan. Dalam hal ini, pedagogik transformatif menjadi sangat diperlukan guru. Sebab pedagogik transformatif berusaha membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini dikatakan Zamzani (2008:2) bahwa pedagogik transformatif merupakan suatu proses mentransformasikan kehidupan ke arah yang lebih baik. Pendidikan harus berubah karena realitas sosialnya berubah. Dalam pandangan transformatif, peserta didik bukanlah objek, melainkan subjek yang menjadi bagian tak terpisahkan dari guru dan masyarakat. Oleh sebab itu, berbagai pendekatan seperti CTL dan pendekatan lain yang mengacu kepada teori humanistik, konstruktivistik, kuantum teaching, dan lain-lain hendaknya selalu diterapkan di ruang-ruang kelas.

Di dalam pendekatan CTL, ada tujuh prinsip penting, yaitu inquiry, bertanya, modelling, masyarakat belajar, konstruktivisme, penilaian yang sesungguhnya, dan refleksi. (Depdiknas, 2005:48). Siswa hendaknya menemukan sendiri suatu pemahaman, setidaknya ada proses yang dilalui oleh siswa dalam kemasan kegiatan. Proses dapat diciptakan guru dengan strategi bertanya, mengamati model, mengumpulkan data, menganalisis, sampai siswa mampu menarik simpulan. Untuk menumbuhkan sikap kerja sama dan saling membutuhkan, diciptakan model masyarakat belajar, yakni kegiatan yang dilakukan dalam kelompok.

Pemanfaatan pendekatan kontekstual akan menciptakan ruang kelas yang di dalamnya siswa akan menjadi peserta aktif bukan hanya pengamat yang pasif, dan bertanggung jawab terhadap belajarnya (Depdiknas, 2003: 9). Selain menumbuhkan sikap bertanggung jawab, pendekatan ini melahirkan generasi yang berdisiplin, siap bekerja sama saling membantu untuk mencapai tujuan bersama. Sebab salah satu prinsip yang ditekankan adalah belajar bersama (kooperatif learning). Menurut Roger dan David Johnson (dalam Anita Lie, 2004: 31) ada lima unsur yang harus diterapkan dalam model ini, yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antaranggota, dan evaluasi proses kelompok.

Adapun hasil yang diharapkan dalam pembelajaran kooperatif laerning adalah meningkatkan prestasi, dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Hal ini dikatakan oleh Arends bahwa hasil yang diperoleh siswa dalam kooperatif learning ada tiga, yaitu prestasi akademik, toleransi terhadap keanekaragaman, dan pengembangan keterampilan sosial (2008:5). Dengan menerapkan kooperatif learning, ketakutan menciptakan siswa yang egois, mau menang sendiri, apatis, masa bodoh, dan lain-lain tidak akan terjadi.

Jika pendekatan CTL benar-benar diterapkan, pembelajaran bisa berlangsung menyenangkan dan bermakna. Kebermaknaan pembelajaraan sesuai dengan asas utama kuantum teaching, yaitu bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka (DePorter, 2000:6). Menurut DePorter, guru membawa dunia siswa ke dunia kita dengan cara mengaitkan apa yang diajarkan dengan sebuah peristiwa, pikiran, atau perasaan yang diperoleh dari kehidupan rumah, sosial, atletik, musik, rekreasi, atau akademis mereka. Setelah itu, guru memberikan pemahaman-pemahaman baru untuk dibawa dan diterapkan oleh siswa pada situasi baru. Nah, sudahkah kita memulai?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar