Salam

Selamat datang di blog "Kesejukan Hati". Semoga hati Anda bertambah sejuk setelah membaca.

Jumat, 16 Januari 2009

GURU NGEBLOG

Guru sebagai tenaga kependidikan memiliki peran strategis di dalam menyiapkan siswa yang berkompetensi sesuai dengan bidangnya. Untuk itu, prosfesionalitas guru menjadi hal yang sangat mutlak. Salah satu indikator guru profesional adalah guru yang penuh dedikasi di dalam menjalankan tugasnya sebagai guru.

Untuk mewujudkan dedikasinya itu, guru harus mampu mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi. Ia harus mampu memanfaatkan teknologi informasi untuk kepentingan-kepentingan pendidikan. Misalnya dalam memanfaatkan teknologi dunia maya (internet). Internet memberikan manfaat yang sangat besar apabila benar-benar dimaksimalkan penggunaannya. Maksudnya, seorang guru jangan hanya bisa mengakses ilmu pengetahuan dan informasi mutakhir, tetapi juga harus bisa mengambil peran aktif di dalamnya.

Melalui blog, seorang guru sangat mungkin untuk secara produktif aktif melaksanakan tugas profesionalnya. Salah satu contoh, blog digunakan untuk media penuangan ide-ide konservatif, untuk menyimpan/publikasi hasil-hasil penelitiannya, untuk dokumentasi materi pelajaran, dan untuk berinteraksi dengan sesama guru dari seluruh penjuru dunia. Hal ini akan menjdikannya terbiasa bersikap profesional dan ilmiah.

Selain hal di atas, siswa bisa memanfaatkan blog gurunya untuk kepentingan studi. Siswa bisa secara interaktif memilih materi, berkonsultasi, bahkan mengerjakan tugas-tugas serta memberikan saran-saran yang bisa meningkatkan kualitas belajar-mengajar. Kegiatan belajar-mengajar tidak lagi dibatasi oelh ruang dan waktu, sehingga jam tatap muka bisa dimaksimalkan untuk diskusi-diskusi pendalaman materi.

Mengingat begitu banyaknya manfaat seorang guru memiliki blog, saya berpendapat bahwa sudah saatnya guru-guru memilikinya secara pribadi. Hal ini akan dapat meningkatkan kualitas, baik diri guru, siswa, maupun kualitas pengajarannya.

GURU DAN KETERPURUKAN PENDIDIKAN


Kita diingatkan petuah Ki Hajar Dewantara bahwa hakikat pendidikan adalah sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Dari sini tampak jelas bahwa kehadiran seorang anak dalam kancah dunia pendidikan tidak bisa dilepaskan dari konteksnya sebagai bagian dari alam dan kehidupan masyarakat. Namun, akibat pemahaman yang keliru terhadap hakikat pendidikan, potensi anak-anak justru dikerangkeng dan dipenjara, serta dijauhkan mereka dari konteks kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya.

Itulah sepenggal paragraf Sawali Tuhusetya dalam blognya. Apa yang dikatakan Sawali ini sungguh menarik dan wajib direnungkan oleh para guru. Bukan hanya isi hakikat pendidikan yang disampaikan Ki Hajar, melainkan juga sikap kita sebagai guru. Jangan-jangan kita adalah salah satu yang kelirutafsir terhadap hakikat pendidikan. Atau bahkan sama sekali tidak mengetahui apa hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Jika demikian yang terjadi, guru yang seharusnya digaji untuk memberdayakan anak-anak bangsa, justru menjadi ujung tombak keterpurukan pendidikan di Indonesia.

Saat ini pendidikan Indonesia memang sedang terpuruk. Atau bisa dikatakan sedang sakit. Dan sakitnya sudah cukup parah. Sebab bukan satu jenis yang diderita, melainkan sudah mengalami komplikasi yang akut. Sakit yang menggerogoti tubuh pendidikan ini membuat bangsa ini tertatih-tatih untuk bersaing dengan negara-negara lain. Sawali mengutip laporan UNESCO (2007) yang menyebutkan peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara di dunia. Education Development Index (EDI) Indonesia hanya 0.935 yang berada di bawah negeri jiran kita Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965). Keadaan ini mengancam masa depan bangsa karena dalam era global bangsa kita tidak memiliki daya saing dengan bangsa lain.

Pertanyaan reflektifnya adalah apa yang bisa diperbuat guru untuk bangkit dari keterpurukan pendidikan?

GURU ALAMI SINDROM ATM?


Undang-undang guru dan dosen mengamanatkan anggaran pendidikan sebesar 20 % dan menempatkan pekerjaan guru secara profesional. Amanat undang-undang tersebut diimplikasikan dengan cara memberikan sertifikat profesi kepada guru yang telah diuji kelayakannya. Terdapat sejumlah syarat yang cukup berat yang harus dipenuhi guru untuk memperoleh sertifikat, antara lain minimal berpendidikan sarjana (S1) dan memiliki prestasi dengan perolehan niliai minimal 850 poin. Pemerintah berkewajiban memberikan tunjangan profesi pendidik (TPP) sebesar satu kali gaji setiap bulan kepada guru yang telah bersertifikat. Tujuan pemberian sertifikat ini adalah agar kesejahteraan guru terpenuhi sehingga bisa melaksanakan tugas guru secara profesional.

Jumlah guru se-Indonesia yang telah lulus sertifikasi kuota 2006-2007 sebanyak 182.054 orang. Dari jumlah itu, 175.542 orang telah menerima SK TPP dari Dirjen Pendidikan (Suara Merdeka, 9 Desember 2008). Guru-guru tersebut seharusnya telah menerima haknya sesuai dengan amanat undang-undang. Namun, dalam praktiknya dana TPP tidak diterimakan sesuai dengan yang diharapkan. Di Jawa Tengah, bahkan sebanyak 28.108 guru belum menerima dana TPP. Padahal menurut Teguh Juwarno, Staf Khusus Mendiknas, seharusnya mereka sudah menerima untuk bulan Mei-Desember 2008 dengan cara dirapel.

Tersendatnya aliran dana TPP ini tentu menimbulkan tanda tanya. Seriuskah pemerintah melaksanakan undang-undang? Benarkah TPP akan diberikan?Tersediakah dana pemerintah untuk memberikan TPP kepada para guru? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang berkecamuk di benak para guru. Pertanyaan-pertanyaan itu pula yang menimbulkan kegelisahan. Guru, terutama yang telah bersertifikat, harap-harap cemas menyikapi hal tersebut. Beberapa bahkan mengalami sindrom ATM, yakni menjadi pengunjung tetap mesin ATM hanya sekadar untuk mengecek saldo. Apalagi ada berita bahwa dana yang tidak tersalur pada akhir tahun 2008 akan dikembalikan kepada kas negara. Secara psikologis, kondisi semacam ini sangat tidak sehat.

Sebenarnya tersendatnya aliran dana TPP kepada yang berhak tidak perlu terjadi. Sebab, menurut Teguh, dana TPP sudah tersedia sejak 2 Januari 2008. Beliau menduga, keterlambatan pembayaran tersebut terjadi diduga karena dana TPP dari pusat masih ditahan Dinas Pendidikan. Jika dugaan ini benar, ada apakah sebenarnya di balik semua itu? Mengapa dinas pendidikan menahannya? Mengapa tidak secara rutin dana TPP disalurkan?

Banyak opini terkait dengan pertanyaan-pertanyaan di atas, yang menurut penulis akan memperkeruh keadaan. Misalnya berburuk sangka bahwa PNS selain guru cemburu akan besarnya perhatian pemerintah kepada guru. Kecemburuan dilampiaskan dengan cara menghambat kelancaran aliran dana. Ada pula pendapat ekstrem yang mengatakan bahwa uang tersebut didepositokan lebih dulu untuk diambil keuntungannya. Apabila opini tersebut berkembang, yang terjadi justru iklim kerja yang tidak kondusif, baik di kalangan guru sendiri maupun dalam hubungannya dengan instansi terkait (dinas pendidikan).

Sebenarnya, apakah tujuan pemerintah memberikan penghargaan kepada guru berupa TPP satu kali gaji? Adalah untuk meningkatkan kesejahteraan guru agar bisa hidup layak. Dengan hidup layak, perhatian guru akan terfokus untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Mereka tidak lagi terbebani untuk mencari penghasilan tambahan lewat profesi lain yang tidak relevan. Jangka panjangnya, kualitas pendidikan akan meningkat dan bangsa ini akan bangkit dari keterpurukan. Untuk itu, hendaknya program ini dilaksanakan secara serius. Dana yang sangat ditunggu oleh para guru hendaknya disalurkan tepat pada waktunya. Sebaliknya, guru benar-benar bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas sesuai dengan amanat undang-undang.

JAWA DAY DI SMP 3 SEMARANG


Apakah Jawa day itu? Jawa day adalah hari Bahasa Jawa. Dengan Jawa day, sehari penuh di lingkungan kampus SMP 3 berlaku penggunaan bahasa Jawa. Pada hari itu siapa pun tidak dibenarkan memakai bahasa lain. Siswa, guru, karyawan, kepala sekolah, bahkan tamu yang kebetulan datang berkunjung. Pendeknya, siapa saja yang memasuki kampus SMP Negeri 3 Semarang harus menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi.

Mengapa perlu Jawa day?

Jawa day di SMP 3 Semarang memiliki makna strategis. Yang pertama, Jawa day dapat dikategorikan program kegiatan pembiasaan. Dengan pembiasaan ini, sekolah telah melaksanakan salah satu tuntutan KBK. Kedua, SMP 3 Semarang menjadi salah satu lembaga yang memelopori pelestarian budaya bangsa, khususnya budaya bahasa daerah yang diwariskan turun-temurun. Ketiga, Jawa day dapat membentuk kepribadian luhur para siswa, karyawan, dan guru untuk mengenal sopan santun berbahasa sesuai dengan situasi dan siapa orang yang menjadi lawan bicaranya. Keempat, Jawa day dapat memperkaya perbendaharaan bahasa, khususnya kosakata bahasa Jawa yang dikenal memiliki kekayaan kata yang luar biasa banyaknya. Misalnya kata makan dalam bahasa Indonesia dapat dinyatakan paling sedikit dengan 15 kosakata bahasa Jawa, yaitu dahar, nyekek, ……

Bagaimana Jawa Day dilaksanakan?

Setiap orang yang berada di lingkungan kampus wajib berkomunikasi dengan bahasa Jawa, kecuali pada saat-saat KBM. Yang melanggar ketentuan ini wajib ditegur. Teguran dilakukan oleh yang terdekat dari lokasi pelanggar. Jadi bisa siswa menegur siswa, siswa menegur guru, guru menegur siswa, bahkan siswa dan guru diperbolehkan menegur kepala sekolah jika kedapatan melanggar. Jika tidak mengindahkan, pelaku dilaporkan kepada petugas khusus untuk ditindak.

Bagaimana perlakuannya terhadap tamu?

Tamu harus disambut dengan bahasa Jawa. Jika perlu, kita jelaskan bahwa hari ini adalah Jawa day di SMP 3 Semarang, yang berlaku pula untuk tamu yang berkunjung. Jika kita jelaskan dengan sopan, tentu mereka akan menghormatinya dan ikut mendukung kesuksesannya.

Siapakah yang bertanggung jawab untuk menyukseskan Jawa day?

Komitmen. Itulah kunci keberhasilannya. Semua pihak harus memiliki komitmen yang kuat untuk mendukungnya. Kebulatan tekad, rasa bersalah jika tidak melaksanakan program ini, dan kesadaran tinggi pentingnya Jawa day di SMP 3 Semarang harus benar-benar tertanam kuat di setiap hati insan SMP 3. Jika tidak, program akan tinggal program. Niat baik tinggal niat tanpa pernah terwujud.

Bagaimana pengaturan waktunya?

Setiap minggu, dalam sehari ditetapkan sebagai Jawa day. Misalnya ditetapkan hari Kamis. Maka setiap Kamis, semenjak menginjakkan kaki di halaman sekolah hingga meninggalkan SMP 3, berlakulah Jawa day baginya. Jika telah berada di luar kampus, peraturan Jawa day tidak lagi berlaku lagi walaupun masih ada pada hari Kamis.

Dapatkah program ini terlaksana?

Terlaksana ataukah tidak, semuanya bergantung kepada kita sendiri. Bila ada kemauan, ada kesungguhan, dan ada tekad yang kuat untuk menjalankannya tentu akan dimudahkan jalannya. Semoga.

PEDAGOGIK TRANSFORMATIF DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

Pendidikan diharapkan melahirkan insan yang bukan hanya cerdas dan terampil, melainkan juga generasi yang tinggi tingkat apresiasinya terhadap sikap jujur, adil, demokratis, rendah hati, sederhana, dan kreatif. Lebih-lebih bangsa Indonesia yang sejak dulu dikenal sopan santun, ramah, berperadaban tinggi, dan suka bergotong royong. Adalah hal yang ironis jika dalam kenyataannya sekarang, nilai-nilai luhur warisan nenek moyang itu sedikit demi sedikit mulai pudar, bahkan luntur. Berbagai peristiwa kekerasan, kerusuhan, tindakan anarkis dan destruktif yang terjadi di negeri ini setidaknya membuktikan hal tersebut. Merajalelanya KKN, apatis, dan masa bodoh yang ditunjukkan oleh beberapa oknum petinggi negara juga sangat memprihatinkan.

Salah satu faktor yang ditengarai memicu lahirnya generasi semacam itu adalah model pendidikan yang lebih memacu kecerdasan otak dari pada emosi dan nilai kemanusiaan. Dalam belajar, siswa hanya menerima materi dan pengetahuan kognitif yang sangat jauh dari pengalaman dan kenyataan mereka sehari-hari. Hal ini berakibat hilangnya ruang untuk berkreasi, berprakarsa, dan mengembangkan jatidirinya. Padahal, pendidikan yang hakiki merujuk pada sebuah kondisi yang mampu memberikan ruang kesadaran kepada peserta didik untuk mengembangkan jatidirinya melalui sebuah proses yang menyenangkan, terbuka, tidak terbelenggu dalam suasana monoton, kaku, dan menegangkan.

Guru sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan memiliki tanggung jawab yang besar untuk mewujudkan hakikat pendidikan. Dalam hal ini, pedagogik transformatif menjadi sangat diperlukan guru. Sebab pedagogik transformatif berusaha membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini dikatakan Zamzani (2008:2) bahwa pedagogik transformatif merupakan suatu proses mentransformasikan kehidupan ke arah yang lebih baik. Pendidikan harus berubah karena realitas sosialnya berubah. Dalam pandangan transformatif, peserta didik bukanlah objek, melainkan subjek yang menjadi bagian tak terpisahkan dari guru dan masyarakat. Oleh sebab itu, berbagai pendekatan seperti CTL dan pendekatan lain yang mengacu kepada teori humanistik, konstruktivistik, kuantum teaching, dan lain-lain hendaknya selalu diterapkan di ruang-ruang kelas.

Di dalam pendekatan CTL, ada tujuh prinsip penting, yaitu inquiry, bertanya, modelling, masyarakat belajar, konstruktivisme, penilaian yang sesungguhnya, dan refleksi. (Depdiknas, 2005:48). Siswa hendaknya menemukan sendiri suatu pemahaman, setidaknya ada proses yang dilalui oleh siswa dalam kemasan kegiatan. Proses dapat diciptakan guru dengan strategi bertanya, mengamati model, mengumpulkan data, menganalisis, sampai siswa mampu menarik simpulan. Untuk menumbuhkan sikap kerja sama dan saling membutuhkan, diciptakan model masyarakat belajar, yakni kegiatan yang dilakukan dalam kelompok.

Pemanfaatan pendekatan kontekstual akan menciptakan ruang kelas yang di dalamnya siswa akan menjadi peserta aktif bukan hanya pengamat yang pasif, dan bertanggung jawab terhadap belajarnya (Depdiknas, 2003: 9). Selain menumbuhkan sikap bertanggung jawab, pendekatan ini melahirkan generasi yang berdisiplin, siap bekerja sama saling membantu untuk mencapai tujuan bersama. Sebab salah satu prinsip yang ditekankan adalah belajar bersama (kooperatif learning). Menurut Roger dan David Johnson (dalam Anita Lie, 2004: 31) ada lima unsur yang harus diterapkan dalam model ini, yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antaranggota, dan evaluasi proses kelompok.

Adapun hasil yang diharapkan dalam pembelajaran kooperatif laerning adalah meningkatkan prestasi, dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Hal ini dikatakan oleh Arends bahwa hasil yang diperoleh siswa dalam kooperatif learning ada tiga, yaitu prestasi akademik, toleransi terhadap keanekaragaman, dan pengembangan keterampilan sosial (2008:5). Dengan menerapkan kooperatif learning, ketakutan menciptakan siswa yang egois, mau menang sendiri, apatis, masa bodoh, dan lain-lain tidak akan terjadi.

Jika pendekatan CTL benar-benar diterapkan, pembelajaran bisa berlangsung menyenangkan dan bermakna. Kebermaknaan pembelajaraan sesuai dengan asas utama kuantum teaching, yaitu bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka (DePorter, 2000:6). Menurut DePorter, guru membawa dunia siswa ke dunia kita dengan cara mengaitkan apa yang diajarkan dengan sebuah peristiwa, pikiran, atau perasaan yang diperoleh dari kehidupan rumah, sosial, atletik, musik, rekreasi, atau akademis mereka. Setelah itu, guru memberikan pemahaman-pemahaman baru untuk dibawa dan diterapkan oleh siswa pada situasi baru. Nah, sudahkah kita memulai?

RESEP 3 N

Apa sih 3 N? Tadinya aku tidak tahu. Paling-paling hanya deretan huruf N yang jumlahnya 3. Kalaupun ada maksudnya, mungkin itu Nanang, Nining, Nunung. Atau nulis, nembang, nari, dan sebangsanya. 3 N bagiku hanya 3 N, tidak ada istimewanya. Biasa saja.

Suatu hari, pandanganku berubah. Aku melihat 3 N bukan lagi hal biasa, melainkan luar biasa. Bahkan bisa dikatakan sesuatu yang istimewa, yang ajaib, yang sungguh luar biasa. Sebab lantaran 3 N inilah aku berani, setidaknya berani mencoba menulis yang aku bisa.

Aku mulai dari N pertama. Bukan Nanang atau nembang, tapi singkatan dari niteni. Aku orang Jawa, jadi aku paham maksudnya. Niteni berarti meneliti, mencermati, mempelajari dan mengingat-ingatnya sebanyak mungkin. Niteni yang dimaksud adalah mencermati karya tertentu yang ingin aku bisai. Misalnya aku ingin bisa menulis puisi yang baik. Maka aku harus mulai niteni puisi yang baik dengan membaca sebnyak mungkin puisi yang baik, lalu mencermati dan mengira-ngira bagaimana proses kreatifnya. Begitu pula bila aku ingin bisa menulis cerpen, artikel, bahkan sebuah buku. Kumpulkan, baca, dan niteni. Itulah N yang pertama.

N kedua singkatan dari Nirokne. Nirokne berarti meniru. Maksudnya, jika telah niteni kita bisa mulai meniru karangan mereka. Mencoba membuat yang sama dengan karangan mereka. Tentu saja tidak boleh sama persis. Kalau sekedar mirip, itu masih boleh.

N ketiga nambahi. Inilah yang penting. Jika hanya sampai niteni dan nirokne, kita akan mendapat predikat plagiator. Dalam tulis-menulis, predikat plagiator itu keji dan menjijikkan. Sama dengan mencuri atau membajak. Tentu kita tidak mau disebut pencuri atau pembajak, bukan? Itulah sebabnya kita harus sampai pada N ketiga, yaitu nambahi sesuatu sebagai kreatifitas kita. Karya yang mirip dengan karya terdahulu kita tambah dengan ide-ide baru, dengan gaya bahasa yang baru, atau sistematika yang baru hasil kreativitas kita. Aku bisa memastikan, bila N ketiga ini digunakan, tidak hanya predikat plagiator yang menjauhi kita, tetapi predikat pembaharu dan inovatorlah yang akan melekat di pundak.

Nah, mulailah dengan 3 N. Jangan pandang 3 N biasa-biasa saja. Jangan anggap 3 N itu Nanang, Nining, dan Nunung atau nembang, nari, njoget. Pandanglah 3 N adalah Niteni, Nirokne, dan Nambahi. Lalu ayo latihan dari sekarang.

Rabu, 14 Januari 2009

Tentang Menulis

Menulis itu gampang. Setidaknya itu kata Arswendo Atmowiloto. Tapi kalau kita percaya kata beliau, menulis bisa menjadi benar-benar gampang, lho. Gak percaya? Coba aja langsung. Dan ciptakan image bahwa menulis itu memang gampang.
Gampangnya menulis tentu tidak seperti membalik telapak tangan. Juga tidak seperti Dedy Corbuzer yang bisa main sulap. Atau ke Mama Lorent dan Ki Joko Bodho untuk diramal. Biar gampang menulis, kita perlu banyak bahan untuk ditulis. So, kita harus rajin gerilya ke perpustakaan atau gramedia atau browsing di Luna Maya, eeh ... dunia maya. nah, jika otak kita udah penuh muatan, selanjutnya tinggal nuangin. gampang khan? jadi, kenapa musti takut?