Salam

Selamat datang di blog "Kesejukan Hati". Semoga hati Anda bertambah sejuk setelah membaca.

Jumat, 16 Januari 2009

GURU ALAMI SINDROM ATM?


Undang-undang guru dan dosen mengamanatkan anggaran pendidikan sebesar 20 % dan menempatkan pekerjaan guru secara profesional. Amanat undang-undang tersebut diimplikasikan dengan cara memberikan sertifikat profesi kepada guru yang telah diuji kelayakannya. Terdapat sejumlah syarat yang cukup berat yang harus dipenuhi guru untuk memperoleh sertifikat, antara lain minimal berpendidikan sarjana (S1) dan memiliki prestasi dengan perolehan niliai minimal 850 poin. Pemerintah berkewajiban memberikan tunjangan profesi pendidik (TPP) sebesar satu kali gaji setiap bulan kepada guru yang telah bersertifikat. Tujuan pemberian sertifikat ini adalah agar kesejahteraan guru terpenuhi sehingga bisa melaksanakan tugas guru secara profesional.

Jumlah guru se-Indonesia yang telah lulus sertifikasi kuota 2006-2007 sebanyak 182.054 orang. Dari jumlah itu, 175.542 orang telah menerima SK TPP dari Dirjen Pendidikan (Suara Merdeka, 9 Desember 2008). Guru-guru tersebut seharusnya telah menerima haknya sesuai dengan amanat undang-undang. Namun, dalam praktiknya dana TPP tidak diterimakan sesuai dengan yang diharapkan. Di Jawa Tengah, bahkan sebanyak 28.108 guru belum menerima dana TPP. Padahal menurut Teguh Juwarno, Staf Khusus Mendiknas, seharusnya mereka sudah menerima untuk bulan Mei-Desember 2008 dengan cara dirapel.

Tersendatnya aliran dana TPP ini tentu menimbulkan tanda tanya. Seriuskah pemerintah melaksanakan undang-undang? Benarkah TPP akan diberikan?Tersediakah dana pemerintah untuk memberikan TPP kepada para guru? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang berkecamuk di benak para guru. Pertanyaan-pertanyaan itu pula yang menimbulkan kegelisahan. Guru, terutama yang telah bersertifikat, harap-harap cemas menyikapi hal tersebut. Beberapa bahkan mengalami sindrom ATM, yakni menjadi pengunjung tetap mesin ATM hanya sekadar untuk mengecek saldo. Apalagi ada berita bahwa dana yang tidak tersalur pada akhir tahun 2008 akan dikembalikan kepada kas negara. Secara psikologis, kondisi semacam ini sangat tidak sehat.

Sebenarnya tersendatnya aliran dana TPP kepada yang berhak tidak perlu terjadi. Sebab, menurut Teguh, dana TPP sudah tersedia sejak 2 Januari 2008. Beliau menduga, keterlambatan pembayaran tersebut terjadi diduga karena dana TPP dari pusat masih ditahan Dinas Pendidikan. Jika dugaan ini benar, ada apakah sebenarnya di balik semua itu? Mengapa dinas pendidikan menahannya? Mengapa tidak secara rutin dana TPP disalurkan?

Banyak opini terkait dengan pertanyaan-pertanyaan di atas, yang menurut penulis akan memperkeruh keadaan. Misalnya berburuk sangka bahwa PNS selain guru cemburu akan besarnya perhatian pemerintah kepada guru. Kecemburuan dilampiaskan dengan cara menghambat kelancaran aliran dana. Ada pula pendapat ekstrem yang mengatakan bahwa uang tersebut didepositokan lebih dulu untuk diambil keuntungannya. Apabila opini tersebut berkembang, yang terjadi justru iklim kerja yang tidak kondusif, baik di kalangan guru sendiri maupun dalam hubungannya dengan instansi terkait (dinas pendidikan).

Sebenarnya, apakah tujuan pemerintah memberikan penghargaan kepada guru berupa TPP satu kali gaji? Adalah untuk meningkatkan kesejahteraan guru agar bisa hidup layak. Dengan hidup layak, perhatian guru akan terfokus untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Mereka tidak lagi terbebani untuk mencari penghasilan tambahan lewat profesi lain yang tidak relevan. Jangka panjangnya, kualitas pendidikan akan meningkat dan bangsa ini akan bangkit dari keterpurukan. Untuk itu, hendaknya program ini dilaksanakan secara serius. Dana yang sangat ditunggu oleh para guru hendaknya disalurkan tepat pada waktunya. Sebaliknya, guru benar-benar bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas sesuai dengan amanat undang-undang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar